Selasa, 02 Juni 2009

DAMPAK POLUSI LAHAN BASAH TERHADAP PERTANIAN

Indonesia memiliki kawasan gambut dan lahan basah air tawar yang sangat luas, yaitu sekitar 19 juta hektar atau 10 persen dari luas wilayah Negara. Delapan puluh sembilan persen diantaranya berupa lahan gambut, yang sebagian besar terletak di Papua Barat, Sumatra dan Kalimantan. Lahan-lahan basah tropis ini secara alami tertutup rapat oleh vegetasi hutan dan seringkali memiliki jenis-jenis kayu bernilai tinggi (namun pembalakan yang dilakukan di areal gambut tidak lestari). Hutan-hutan ini memainkan peranan penting sebagai tempat penyimpan karbon, konservasi keanekaragaman hayati, dan sebagai pengatur hidrologi. Hutan-hutan ini juga berfungsi sebagai tempat pemuliaan untuk ikan-ikan yang dipasarkan di dalam negeri maupun untuk ekspor. Banyak orang yang bergantung kepada lahan-lahan basah ini untuk mendukung kehidupannya, umumnya dalam kegiatan perikanan, pembalakan dan pertanian.


Lahan basah Indonesia telah mengalami kerusakan akibat bencana kebakaran dalam beberapa tahun terakhir ini. Kebakaran hutan pada lahan basah terjadi di atas areal seluas 2,1 juta hektar atau 18 persen dari total wilayah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Seperti telah diduga, sebagian besar wilayah yang terbakar terjadi di tempat pembalakan atau di lahan basah yang dikeringkan, seperti yang terjadi di Sumatera Selatan. Namun hutan gambut seperti di daerah Mahakam Tengah dan Taman Nasional Berbak yang tidak banyak kegiatan pembalakan juga terbakar dikarenakan intervensi manusia (seperti perburuan kura-kura dan pembalakan) meningkat di dalam hutan. Kebakaran juga merupakan hal yang biasa terjadi, tetapi dalam skala yang lebih kecil dan terbatas untuk wilayah yang mudah dijangkau seperti di sepanjang sungai dan danau. Namun demikian, lahan gambut yang gundul dan dikeringkan menjadi tempat-tempat kebakaran tahunan yang utama, seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah dan Barat, dan baru-baru ini di Riau. Dibandingkan dengan kebakaran di lahan kering, kebakaran di lahan basah cenderung mengakibatkan kerusakan lingkungan yang lebih parah pada tingkat regional dan global. Kebakaran tersebut telah menjadi penyebab utama terjadinya kabut asap tahunan yang menyelimuti wilayah Asia Tenggara dan menimbulkan efek rumah kaca yang mempengaruhi pemanasan global. Kabut asap pada wilayah Asia Tenggara terjadi karena kebakaran lahan basah di Indonesia dan menghasilkan emisi karbon sebesar 0,81-2,57 Gt6, sehingga menjadikan Indonesia sebagai penghasil polusi udara terbesar di dunia. Di Kalimantan dan Sumatera, kebakaran yang terulang kembali dan gangguan lainnya di lahan basah telah menyebabkan deforestasi yang meluas, kerusakan hutan, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Di Kalimantan Timur, kebakaran yang terjadi berulang telah merubah bentang alam menjadi daerah tergenang yang terbuka dan danau dangkal, sejalan dengan hilangnya tanah gambut dengan vegetasi di atasnya karena peristiwa kebakaran.

Gambar 1. Kebakaran Hutan


Api merupakan alat pengelolaan lahan basah yang paling murah dan efektif bagi masyarakat, dan merupakan salah satu penyebab utama kebakaran lahan basah di Sumatera dan Kalimantan Timur. Api digunakan oleh masyarakat untuk membersihkan tumbuhan dan mempermudah akses menuju lahan gambut untuk menangkap ikan, menebang kayu, dan memperoleh hasil lainnya. Selain itu, api juga digunakan untuk membersihkan lahan untuk pengolahan tanah pertanian, untuk merangsang pertumbuhan rumput muda untuk pakan ternak sapi. Sampai saat ini, belum ada alternatif lain yang lebih efektif dan mungkin dilakukan oleh masyarakat lokal selain pembakaran. Tidak ada pengendalian pembakaran karena kebakaran lahan basah sulit untuk dikendalikan. Selain itu, masyarakat berpandangan bahwa kebakaran lahan basah tidak perlu dikontrol. Pembakaran yang dilakukan masyarakat pada umumnya dalam skala kecil dan tidak menjadi masalah, kecuali pada kasus kebakaran pada lahan gambut yang dikeringkan. Kegiatan masyarakat secara intensif dan kondisi hutan yang kering telah menyebabkan terjadinya kebakaran yang menyebar kemana-mana. Beberapa perusahaan hutan tanaman industri (HTI) besar yang beroperasi di lahan gambut menyatakan bahwa mereka telah memberlakukan larangan yang keras untuk tidak melakukan pembakaran guna pembukaan lahan. Pada wilayah lahan basah di Lampung, konflik penguasaan lahan antara masyarakat lokal dengan perusahaan yang akan membangun perkebunan kelapa terjadi berulang-ulang dan berujung pada kegiatan pembakaran. Sebaliknya, pembakaran tidak terjadi pada pembangunan kebun kelapa sawit yang dibangun dengan sistem kemitraan dengan masyarakat lokal.


Walaupun masih dipertentangkan penyebab kebakaran antara perusahaan dengan masyarakat, tetapi pembangunan berskala besar secara tidak langsung turut menyebabkan terjadinya kebakaran yang meluas. Pembalakan yang dilakukan HPH, pembangunan HTI dan perkebunan serta transmigrasi telah membuat lahan basah mudah terbakar dan memperluas pengelolaan lahan basah oleh masyarakat yang berbasis pengunaan api. Kegiatan pembalakan telah menambah bahan bakar dari kayu yang mati dan biomas yang padat, mempercepat pengeringan karena tajuk menjadi terbuka, dan meningkatkan akses ke dalam hutan. Pengeringan gambut telah membuat gambut menjadi mudah terbakar dan meningkatkan akses melalui kanal ke wilayah lahan gambut yang terpencil. Banyak proyek-proyek transmigrasi di lahan basah telah gagal karena struktur tanah gambut rusak, kesulitan dengan pengelolaan air, tanah yang mengandung asam sulfat, dan kesuburannya rendah. Dengan kegagalan pertanian, masyarakat transmigran di Sumatera Selatan telah menerapkan budidaya tanaman padi di lahan basah dengan melakukan pembakaran selama musim kering dan penebangan kayu skala kecil pada hutan di sekitarnya. Hal ini telah meningkatkan bahaya kebakaran dan menyebarnya api pada lahan basah. Pembangunan HTI dalam skala besar pada lahan gambut juga mengandung resiko karena biayanya tinggi, produktivitasnya rendah, dan sulitnya mengelola lingkungan sosial dan biofisik secara lestari. Area transmigrasi dan HTI yang gagal kemungkinan menjadi wilayah titik api yang terjadi setiap tahun.

Gambar 2. Pengeringan Lahan Gambut

Rekomendasi utama untuk mengatasi masalah kebakaran lahan basah dengan peningkatan mata pencaharian dan pengelolaan yang lestari:

1. Pada lahan yang telah rusak atau masih berhutan namun terdapat tekanan kegiatan mata pencaharian, dikembangkan kebijakan untuk mengendalikan kebakaran, menghentikan kerusakan lingkungan dan membatasi kegiatan penduduk yang tidak lestari sambil memberikan dukungan mata pencaharian. Kegiatan-kegiatan yang direkomendasikan termasuk:

a. Melakukan kajian kelayakan teknis dan sosial ekonomi untuk implementasi pengendalian kebakaran pada lahan basah yang digunakan sepanjang aliran air, khususnya pada musim kering yang panjang.

b. Rehabilitasi, lindungi, dan batasi kegiatan masyarakat pada lahan basah di luar wilayah sepanjang tepi sungai dan danau untuk mencegah kebakaran yang besar, kabut asap, emisi karbon, dan kerusakan lingkungan.

c. Kembangkan pilihan mata pencaharian yang memungkinkan dan layak, seperti pembangunan tanaman skala kecil, agroforestry, dan budidaya perikanan pada tempat yang lebih sesuai yang semuanya akan meningkatkan kondisi ekonomi setempat sambil mengurangi masalah kebakaran dan kerusakan sumberdaya.

d. Sebagai bagian dari pembangunan pedesaan, masyarakat perlu diajak untuk bermusyawarah dan menyetujui dalam pengendalian kebakaran dan melindungi areal lahan basah yang lebih luas di luar wilayah-wilayah yang biasa terbakar tiap tahun. Perlu dibuat sistem insentif, peningkatan kesadaran, pembentukan lembaga masyarakat, pembuatan peraturan yang dapat mendukung dalam pelaksanaan kegiatan pengendalian kebakaran tersebut.

2. Pada wilayah transmigrasi yang telah terbentuk, berikan dukungan kepada masyarakat yang melakukan perubahan dari menanam tanaman tahunan kepada tanaman perkebunan atau agroforestry melalui kemitraan dengan perusahaan. Hal ini akan membantu meningkatkan kesejahteraan dan menghindari bahaya kebakaran yang terjadi setiap tahun.

3. Untuk hutan gambut yang letaknya terpencil, pertimbangkan kembali kebijakan pembangunan untuk mencegah kebakaran dan kerusakan lingkungan yang terjadi terus menerus. Hindari kegiatan yang berskala besar (seperti pembalakan oleh HPH, pembangunan transmigrasi dan tanaman industri) yang dapat menimbulkan deforestasi atau pengeringan lahan gambut, peningkatan akses masuk ke lahan gambut, dan peningkatan tekanan penduduk atas wilayah-wilayah yang marginal.

4. Kaji ulang kesesuaian alokasi penggunaan lahan basah yang telah ada untuk kegiatan pembalakan komersil dan pembangunan tanaman industri, atau untuk konservasi atau pemanfaatan oleh masyarakat di berbagai lokasi. Dalam kajian tersebut libatkan para pemangku kepentingan yang terkait.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar